Minggu, 10 Januari 2010

ARTIKEL UJIAN AKHIR SEMESTER FILASAFAT ILMU DAN LOGIKA

ARTIKEL UJIAN AKHIR SEMESTER
FILASAFAT ILMU DAN LOGIKA







Disusun Oleh :


DIAN WIRAWAN NOERAZIZ
110911236

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2009


UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL 2009/2010
Filsafat Ilmu dan Logika
"Netralitas ilmu menekankan pentingnya objektivitas ilmu pengetahuan, mencoba meminimalisir subjektifitas di luarnya, bahkan berusaha untuk menghilangkan subjektifitas itu sendiri. Netralitas ilmu ini meyakini bahwa semakin objektif atau terbebas dari nilai maka ilmu pengetahuan semakin mendekati kebenaran. Kemudian sempat terjadi pertarungan yang sengit antara ilmuan yang berpegang pada prinsip ilmu bebas nilai dan netral atau objektif, dengan ilmuan yang berkeyakinan bahwa ilmu itu terikat oleh nilai. Namun, realitas sejarah kemudian mencatat bahwa ilmu pengetahuan mengalami kemajuannya yang signifikan ketika paradigma ilmu yang bebas nilai tersebut benar-benar menjadi prinsip para ilmuan dalam mengembangkan pengetahuannya, terutama di bidang ilmu pengetahuan alam."

Netralitas Ilmu berasal dari kata “Netral” yang dalam kamus besar bahasa Indonesia sendiri itu artinya berdiri sama rata, tidak berpihak, tidak jantan dan tidak betina, tidak berat sebelah dengan kata lain imbang. Sedangkan “Ilmu” itu sendiri merupakan pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia – rahasia alam, agar gejala – gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri atau pemikiran yang misteri semata. Ilmu berdiri sendiri atau independent tidak terpengaruh oleh apapun. Ilmu dan kebenaran sendiri ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Jadi Netralitas Ilmu berarti bahwa ilmu sendiri itu tidak memihak pada apapun termasuk kebaikan dan tidak juga pada kejahatan tapi si pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai sikap. Sehingga kebaikan maupun kejahatan adalah hal lain di luar permasalahan keilmuan. Kebaikan dan kejahatan adalah merupakan nilai yang sama sekali tidak boleh mempengaruhi ilmu. Itulah sebabnya kemudian istilah “netralitas ilmu” sering juga disebut dan diganti dengan istilah ilmu yang bebas nilai.
Ilmu bebas nilai atau yang juga biasa dikenal oleh kita dengan istilah “Ilmu Objektif” mengartikan bahwa ilmu pengetahuan itu terbentuk dari gugusan teori – teori yang didapat dari objek pengetahuan yang berupa data – data fakta empiris (semesta). Kemudian data-data tersebut harus sesuai dengan fakta yang empiris tanpa melibatkan karakteristik tertentu di luar objek ilmu itu sendiri termasuk dari seorang ilmuwan. Lalu, hal yang berada di luar objek ilmu berfungsi sebagai subjek misalnya Ilmuwan hanyalah sebuah subjek yang mengamati dan meneliti objek kemudian menyimpulkan fakta-fakta empiris dari objek tersebut. Fakta-fakta yang empiris tersebut kemudian disusun kembali sebagai teori – teori pengetahuan yang telah independen tanpa dipengaruhi oleh hal – hal yang bersifat subjektif seperti tadi. Lalu teori-teori yang telah dikumpulkan dari fakta tentang objek tersebut yang kemudian disebut dengan ilmu. Karena ilmu itu sendiri adalah terbentuk atau terdiri dari fakta-fakta empiris dari objek yang telah diteliti, diamati, dan diuji maka ilmu tersebut biasa disebut dengan ilmu yang objektif.
Akan tetapi, kebenaran dari objektifitas ilmu sendiri hanya dapat dinilai pada saat unsur-unsur subjektifitas dari ilmu tersebut tidak mempengaruhi atau tidak termasuk dalam salah satu unsur dari bangunan teori-teorinya tersebut. Sehingga dalam hal ini berarti unsur-unsur dari subjektifitas ilmu itu sendiri telah dihilangkan. Unsur-unsur yang saya maksud tersebut disini adalah dapat berupa keyakian-keyakinan, kepercayaan – kepercayaan, paradigma, kepentingan, nilai dan lain sebagainya. Sehingga, jelas dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan sendiri bisa dikatakan objektif apabila sudah terlepas dari unsur – unsur lain di luar dirinya, salah satunya nilai. Begitu ilmu itu sudah terbebas atau terlepas dari nilai atau unsur – unsur lainnya, maka ilmu itu sendiri sedang dalam keadaan posisi netral, karena ilmu sudah tidak memihak kepada sesuatu apapun kecuali pada independent atau dirinya sendiri.
Paradigma atau jalan pikiran dari netralitas ilmu atau biasa kita kenal dengan paradigma bebas nilai ini, pertama kali dianut serta kemudian dikembangkan pada zaman dahulu oleh positivisme yang ada dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan. Paham Positivisme ini sendiri memandang bahwa pengetahuan yang positif, dan ilmiah itu adalah pengetahuan yang pasti atau nyata dan berguna untuk manusia. Sedangkan objek-objek fisik yang telah hadir secara independen dari subjek itu sendiri, hadir secara langsung melalui data – data yang diterima oleh inderawi kita. Sehingga, data – data yang diterima inderawi ini adalah satu. Kemudian apa yang telah dipersepsikan tersebut itu adalah fakta yang sesungguhnya, tanpa melihatkan dan melibatkan unsur – unsur yang ada diluarnya.
Sehingga pada dasarnya sebuah permasalahan dari keilmuan itu sendiri harus dirumuskan secara sedemikian rupa sehingga pada saat melakukan pengumpulan data – data dapat dilakukan secara objektif, terbebas dari nilai dan bersifat netral. Sedangkan objektif itu sendiri artinya bahwa data – data yang telah ada itu dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan yang lebih lanjut sehinga dapat dilakukan oleh generasi yang akan datang secara umum tanpa adanya hubungan keilmuan tersebut dengan karakterisktik – karakterisktik individual dari seorang peneliti atau ilmuwan yang telah menelitinya. Kemudian dua kata “Bebas Nilai” berarti dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai yang mengharuskan seseorang subjek atau peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan cara bersikap imparsial – netral. Sedangkan makna dari “Netral” itu sendiri sesuai yang telah saya jelaskan tadi di atas yang berarti ilmu itu tidak memihak pada apapun selain independen atau dirinya sendiri.
Kemudian untuk memperkokoh pada pandangannya tersebut, paham positivisme menetapkan beberapa syarat – syarat bagi ilmu pengetahuan, antara lain adalah ilmu pengetahuan itu dapat diamati atau teramati (observe), kemudian ilmu pengetahuan itu dapat diulang atau terulang (repeat), lalu ilmu pengetahuan itu dapat diukur atau terukur (measurable), kemudian dia dapat diuji atau teruji (tasted) dan dapat diramalkan atau terramalkan (predicted) hasilnya. Dengan demikian objek dari ilmu pengetahuan harus berupa fakta-fakta empiris (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh subjek peneliti atau ilmuwan. Di mana itu berarti bahwa semua hal – hal yang tidak dapat diindera oleh manusia yang berperan sebagai subjek peneliti, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut tentang masalah Ilmu Metafisika.
Saya pikir perbedaan pendapat tentang netralitas ilmu tersebut selama ini bersumber dari sudut pandang para Ilmuwan atau Saintis yang berbeda pendapat. Saintis atau Ilmuwan yang berangkat dari makna fisis yang didasari pada norma –norma profesionalisme yang selalu digelutinya. Kemudian ada juga para pakar filsafat ilmu yang berangkat dari makna filosofis yang belum tentu sesuai dengan makna fisisnya. Saintis atau Ilmuwan sendiri mengambil kesimpulan dari data – data yang ada di lapangan (objek) dengan menyadari kesalahan – kesalahan (deviasi) yang harus selalu dinyatakan untuk dapat dinilai tingkat akurasi faktanya. Sedangkan para pakar filsafat ilmu berbeda mereka menggali lebih dalam lagi, dan ada kemungkinan melibatkan juga metafisika, yang sudah sangat jelas berada di luar lingkup tinjauan dari sains atau ilmu.
Kemudian berikut ini adalah beberapa contoh dari aliran filsafat yang sependapat dengan positivisme antara lain adalah positivisme logis, empirisme, realisme, kemudian essensialisme dan objektivisme. Masing – masing aliran tersebut mendasarkan pandangannya pada beberapa prinsip – prinsip tertentu. Contohnya Realisme memiliki prinsip mutlak antara lain sebagai berikut : pertama kita memersepsi objek fisik secara langsung, kemudian adanya tidak Objek ini tergantung pada diri kita dan objek itu menempati posisi tertentu di dalam ruang, kemudian ciri dari khas dari objek ini adalah seperti apa adanya sebagaimana kita memersepsikannya.
Bicara tentang Netralitas dari Psikologi sejarahnya Ilmu Psikologi sendiri telah berkembang cukup pesat sejak pertama kali ilmu ini mulai dipelajari. Ilmu Psikologi adalah merupakan bagian dari ilmu sosial yang memiliki metode dan cara kerja yang sangat khas karena Ilmu ini lebih bersifat fenomenologis, kualitatif, dan interpretatif. Namun, banyak juga pihak yang berpendapat bahwa meskipun begitu, Psikologi sendiri seharusnya lebih mampu berdiri dan sejajar dengan ilmu-ilmu yang bersifat lebih “ilmiah” dan “objektif” lainnya, contohnya seperti fisika, kimia, matematika, dan biologi. Sehingga Ilmu Psikologi sendiri diharuskan menggunakan metode yang bersifat lebih pasti, eksak, dan kuantitatif.
Pada awalnya gagasan tentang Ilmu Psikologi adalah merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa, namun karena Ilmu Psikologi ini tidak dianggap illmiah dalam artian yang saya maksud disini adalah obyektif, netral, bebas nilai, dan juga empiris. Maka Psikologi kemudian direduksi menjadi ilmu yang hanya mempelajari perilaku yang tampak saja dan proses-proses mental serta fisiologis yang melatarbelakanginya. Paradigma positivistik inilah yang telah mengerdilkan dan mereduksi makna dan tujuan awal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan termasuk Ilmu Psikologi. Sehingga tidak heran jika kemudian ada pemisahan – pemisahan antara apa yang disebut Ilmu dengan nilai atau moralitas Ilmiah. Padahal, seharusnya keduanya menjadi satu-kesatuan yang utuh sebagai landasan fundamental bagi kerja-kerja keilmuan yang sebenarnya, yaitu bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia secara utuh. Selain itu, paradigma positivistik sendiri telah membuat kita luput dan melupakan relasi atau hubungan yang telah terjalin di antara berbagai aspek bidang keilmuan, contoh misalnya dari Psikologi sendiri yang sebenarnya memiliki kaitan erat dengan politik, budaya, hukum, agama, dan sebagainya.
Kemudian paradigma Psikologi sendiri terbagi menjadi dua, paradigma yang pertama adalah bahwa Psikologi sendiri merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia dengan segala kompleksitas dan keunikan yang ada dalam dirinya. Sehingga, tidak memungkin bagi kita untuk menjadikan Ilmu Psikologi ini sebagai ilmu yang benar – benar “eksak” dan juga “objektif’. Hal ini juga disebabkan manusia itu sendiri senantiasa berubah dari waktu ke waktu, selain itu antara yang satu manusia dengan manusia yang lain memiliki begitu banyak perbedaan, baik dari segi kultur sendiri, tradisi, maupun lingkungan fisik, bahkan lingkungan sosial, ataupun pengalaman. Akan tetapi, jikalau kemudian kita ingin memaksakan apa yang disebut objektifitas, ketepatan ilmiah, dan univerasalitas ilmiah, pada Psikologi maka hal itu akan mereduksi makna Ilmu Psikologi itu sendiri. Sehingga Psikologi sendiri menjadi ilmu yang kaku, terlalu statis, dan tidak peka terhadap lingkungan di sekitarnya dalam arti yang saya maksudkan disini adalah dinamika realitas yang terjadi.
Sedangkan paradigma kedua beranggapan bahwa jikakalau memang dari Psikologi sendiri ingin disebut sebagai ilmu yang benar-benar ilmiah. Maka Psikologi juga harus “menyesuaikan diri” dengan standarisasi yang ilmiah dari keilmuan itu sendiri, yaitu antara lain empiris, obyektif, bebas nilai atau netral, dan juga rasional.
Padahal segala sesuatu yang pada awalnya sudah dipatenkan sebagai ilmu, tentunya sudah memiliki kapasitas Objektivitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tidak terkecuali Ilmu – Ilmu Sosial Humaniora termasuk salah satunya adalah Psikologi. Jadi, tentu saja Psikologi sendiri sebenarnya memiliki Objektivitas dalam pengembangan ilmunya. Batasan Netralitas dan Objektivitas Psikologi adalah dari hasil – hasil penelitian yang dilakukan. Penelitian - penelitian Psikologi sendiri ditujukan baik untuk menguji teori – teori yang sudah ada, ataupun juga untuk menciptakan teori – teori yang baru. Untuk netralitas, psikologi memang tidak bisa mencapai 100%. Karena, dalam psikologi ada prinsip – prinsip tentang “individual differences” jadi jika konteksnya penelitian ini adalah perorangan. Walaupun secara umum seseorang itu bisa di”periksa” dengan teori – teori yang ada, tapi tetap saja akan tersisa setidaknya 10 – 20% celah yg ditinggalkan. Celah – celah seperti inilah yang biasanya disebut dengan “Eror”. Akan tetapi, Eror yang dimaksudkan disini adalah adanya kondisi – kondisi tertentu baik dari dalam individu itu sendiri ataupun dari lingkungan sekitarnya yang kadang menjadikan individu ini tidak sesuai dengan teori – teori tersebut. Sehingga istilah yang sering dang biasa dipakai untuk mengungkapkannya adalah “unik”. Dengan demikian justru, keinginan untuk 100% netralitas dalam Psikologi harus dihindari karena memang pd kenyataannya tidak ada dua manusia yg sungguh – sungguh sama di luar dan di dalam, baik atas maupun bawah. Karena pada dasarnya sifat dari Penelitian itu sendiri haruslah representatif dengan kondisi nyata yang terjadi. Sehingga, Psikologi dan Ilmu – Ilmu Sosial Humaniora lainnya masih bisa untuk tetap menjadi suatu ilmu walaupun belum bisa ilmiah 100% tapi masih bisa menjadi ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tetapi, Ilmu Psikologi menurut saya sendiri, memanglah tetap merupakan bagian dari Ilmu Sosial yang memiliki ciri khas metode dan cara kerja dengan keilmuannya itu, yang memang lebih bersifat fenomenologis – interpretatif. Sehingga memang seharusnya cara kerja yang seperti iniilah yang menarik untuk dikembangkan dan bukan hanya dengan metode – metode yang terlalu statistikal semata yang cenderung reduksionis terhadap ilmu ini. Tetapi, apakah memang harus untuk suatu ilmu itu disebut ilmiah jika hanya karena ilmu tersebut bersifat eksak dan pasti? Tentunya tidak menurut saya, karena bisa saja kita justru mempertanyakan, kenapa standarisasi keilmuannya harus demikian? bukankah segala sesuatu itu pasti berubah – ubah dan berkembang, apalagi manusia dengan kompleksitasnya? Jadi, akankah Ilmu Psikologi terus – menerus terombang –ambing sebagai ilmu, hanya karena ingin disebut “ilmiah”?
DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume hingga Thomas S Kuhn, (Jakarta; Teraju) 2002
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolutions, ed.II (Chiccago;Chicago Press) 1962
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan) 2002
Saifullah, Lompatan Paradigmatik dalam Masa Transisi sebuah Kajian Filsafat Ilmu. ElJadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Vol.3 No.1 2005.
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta; Belukar), 2004