Selasa, 18 Desember 2012

Pelajaran dari Olimpiade London

Sejak bulutangkis dipertandingkan pertama kali di Olimpiade Barcelona 1992 sampai Olimpiade Beijing 2008, atlet bulu tangkis Indonesia selalu meraih medali emas. Itu artinya, selama 16 tahun melalui lima Olimpiade, lagu “Indonesia Raya” selalu berkumandang. Atlet bulutangkis berdiri penuh kebanggaan di podium dengan air mata keharuan.

Nama-nama yang mencatat sejarah itu adalah atlet tunggal Alan Budikusuma dan Susi Susanti, pasangan Ricky Subagja/Rexy Mainaky, Tony Gunawan/Candra Wijaya. Kemudian ada Taufik Hidayat serta Markis Kido/Hendra Setiawan.

Namun pada Olimpiade London 2012 yang digelar Juli hingga Agustus, tim bulutangkis Indonesia mencatat dua luka sejarah sekaligus: gagal membawa pulang medali emas dan didiskualifikasi dari kompetisi.

Sungguh tragis ketika ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Meiliana Jauhari tersangkut skandal main sabun, sehingga diusir dari arena pertandingan. Sanksi tersebut dikeluarkan oleh Federasi Badminton Dunia (BWF) untuk delapan atlet: dua pasangan dari Korea Selatan, satu pasang asal Cina, serta satu pasang dari Indonesia.

Keempat pasangan tersebut divonis melakukan upaya manipulasi hasil pertandingan agar mendapatkan undian yang menguntungkan pada babak sistem gugur. Modus seperti ini misalnya, pura-pura kalah sehingga menjadi juara nomor dua grup agar bertemu lawan lebih lemah pada babak berikutnya.

Itulah catatan buruk yang tak mungkin dilupakan. Para pemangku kepentingan olahraga, khususnya bulutangkis di Indonesia, jelas kecewa. Namun nasi telah menjadi bubur.
Legenda bulutangkis Indonesia, Rudy Hartono mengingatkan agar pemerintah, dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga hingga Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI), sudah waktunya berbenah diri.

Rudy mengusulkan adanya perubahan pada format pelatihan nasional atau pelatnas. Yakni, bukan sekadar latihan menjelang kompetisi, tapi harus dimulai sejak pencarian bakat dengan lebih seksama dan jangan sampai salah pilih. Termasuk di cabang bulutangkis.
“Siapkan waktu empat tahun untuk membina para atlet dari sekarang jika menginginkan medali emas Olimpiade,” jelasnya.

Tapi yang tak kalah pentingnya tentu persoalan moral bertanding. Vonis main sabun yang berbuah diskualifikasi alias pengusiran dari kompetisi sungguh memalukan bagi Indonesia yang sangat dihormati di ajang kejuaraan internasional bulutangkis.

Pelajaran lain dari kasus Olimpiade London 2012 ini adalah, sudah saatnya Indonesia tidak menempatkan beban berlebihan pada satu cabang olah raga, yakni bulutangkis. Cabang angkat besi dan panahan cukup menjanjikan.

Atlet angkat besi Triyatno yang turun di kelas 69 kilogram menyumbangkan medali perak bagi Indonesia. Hasil ini merupakan peningkatan, mengingat pada Olimpiade Beijing 2008, atlet berusia 24 tahun itu membawa pulang perunggu.

Begitu juga dengan atlet panahan, Ika Yuliana Rochmawati. Jika pada Olimpiade Beijing langsung tersingkir, di London ia mencapai babak 16 besar. Mereka inilah masa depan olahraga Indonesia yang juga patut mendapat perhatian lebih.

Bukan hanya cabang yang sudah sangat populer seperti bulutangkis.

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar