Sepak bola Indonesia terkena sanksi FIFA ini alasannya :
Dua hari setelah tragedi Stadion Heysel Belgia yang menewaskan 39
suporter di final Liga Champions, FA Inggris dengan dukungan Perdana
Menteri Margaret Thatcher mengeluarkan keputusan keras (31 Mei 1985).
Mereka melarang seluruh klub Inggris bermain di Eropa.
FA sadar
dan mau mengakui bahwa sepak bola Inggris ketika itu penuh dengan
masalah, terutama kekerasan suporter (hooliganisme). "Kita harus
membersihkan sepak bola dalam negeri dari hooliganisme, baru setelah itu
mungkin kita bisa bermain lagi di luar negeri," kata Thatcher ketika
itu.
UEFA sendiri kala itu hanya menghukum Liverpool yang dinilai
tak mampu mengendalikan suporternya di Belgia. Tetapi FA meminta dan
menyatakan hukuman diterapkan kepada seluruh klub Inggris dengan durasi
yang lebih panjang: 5 tahun.
Hebatnya, tidak satu pun klub
Inggris protes. Tidak Manchester United, Arsenal, Southampton, Everton,
atau siapa pun. Tidak ada ucapan: "Mengapa kami ikut disalahkan,
bukankah hanya Liverpool yang terkait tragedi itu?" Ini menandakan, klub
juga sadar bahwa sepak bola mereka, khususnya saat itu, penuh masalah.
Masalah.
Itulah yang dimiliki dunia sepak bola Indonesia sementara ini. Masalah
yang sudah terjadi dalam dua dekade. Tetapi para pengelola sepak bola
negeri ini begitu jumawa dan mati-matian mempertahankan atau
memperebutkan PSSI. Bila dipikir menggunakan akal sehat, konflik ini
tidak logis.
Memperebutkan ladang minyak dan emas bisa dipahami
karena ada peluang keuntungan yang besar di sana. Tetapi memperebutkan
pengelolaan sepak bola Indonesia yang tidak berprestasi, tidak
membanggakan, serta penuh keributan dan penganiayaan wasit atau pemain?
Patut dipertanyakan.
Konflik sepak bola Indonesia dimulai sejak
kemunculan Liga Prima Indonesia (IPL). Secara umum, IPL memiliki konsep
dan manajemen pertandingan yang ideal beserta pendekatan statistik.
Pertandingan digelar di akhir pekan. Sesekali di tengah pekan.
Konfigurasi
pertandingan IPL tidak berantakan seperti Liga Super Indonesia (ISL)
yang dengan ngawur biasa menggelar pertandingan sepanjang minggu,
termasuk di hari dan jam kerja. Tapi konsep pertandingan saja tak cukup
karena secara tatanan tidak tepat. Desain besar IPL tak cukup untuk
mendapat kredit bagus.
Lalu, rezim PSSI pimpinan Nurdin Halid
(NH) tidak mengakui IPL. Dia dianggap kompetisi sempalan sehingga
diadukan ke FIFA. IPL pun terpaksa berhenti di tengah jalan karena
dihentikan oleh Komite Normalisasi yang dirujuk FIFA untuk menyelesaikan
konflik.
Lanjutan cerita seperti sinetron yang mudah ditebak.
Rezim pengusung IPL (Djohar Arifin) melakukan balas dendam saat berhasil
menduduki kursi kepengurusan PSSI. Mereka mencuci bersih produk rezim
lama PSSI, termasuk ISL.
Inilah lingkaran konflik berikutnya.
PSSI rezim baru memang keliru melangkah. Mereka gagal merawat luka yang
belum kering. Ironisnya, mereka pun lebih senang meladeni KPSI ketimbang
mengurus sepak bola sendiri. Kloning sebagian kecil klub ISL bernama
besar, apa pun alasan dan kronologisnya, menjadi senjata makan tuan yang
sangat empuk.
PSSI memang tak mahir menyikapi konflik yang
terjadi. Mereka memanggil para pemain ISL ke timnas. Mereka mau
mengambil para pemainnya, tetapi tidak menjelaskan posisi klub dan
ISL-nya di dalam yurisdiksi PSSI.
Makin runyam, rival PSSI adalah
mereka yang sudah pengalaman dalam "bermain". KPSI mampu menggoreng
isu, terutama menggunakan media lingkaran internal. Mereka ahli
memainkan opini (spin doctor) dan mahir menggunakan metode psikologi
terbalik (reverse psychology). Pendeknya, KPSI punya modal cukup untuk
bertempur dan sekaligus "mengalahkan" PSSI.
Lalu, apakah KPSI
benar-benar pintar mengelola sepak bola? Sayang sekali, sama sekali
tidak! KPSI yang dulunya adalah rezim lama PSSI juga mandul menghasilkan
prestasi yang bisa dibanggakan. Pada zaman mereka, sepak bola Indonesia
lebih sering diwarnai keributan.
ISL selalu dihiasi olahraga
"bela diri". Bahkan permainan brutal masih mudah ditemui sampai
sekarang. Bukti terbaru terjadi ketika Persisam Samarinda bertemu Mitra
Kukar di Inter Island Cup 2012 awal Desember lalu. Di zaman PSSI lama,
sepak bola jadi praktik dagang sapi.
KPSI tak pernah berniat
membangun sepak bola. Mereka hanya perlu sepak bola sebagai kendaran
politik praktis dengan memanfaatkan basis pendukung klub sebagai lumbung
suara.
Sepak bola Indonesia memang salah sejak awal, sejak lama.
Masuknya orang-orang pemerintah (daerah) dan partai politik ke dalam
tatanan kepengurusan, termasuk klub, tak pernah dibenahi. Andai ada
usaha membenahi, itu hanya sekadar pencitraan.
Dengan segala
masalah mendasar itu, memang ada baiknya FIFA menghukum Indonesia. Atau
bila mengaca pada Inggris di tahun 1985, sepak bola Indonesia menghukum
dirinya sendiri.
Mendapat sanksi tidak akan merugikan, toh sepak
bola Indonesia juga kering prestasi dalam 2 dekade terakhir. Menutup
diri bukan berarti Indonesia tidak bisa membangun sepak bola di dalam
negeri. Kompetisi masih bisa berjalan seperti biasa. Penonton masih bisa
hadir. Pedagang di sekitar stadion masih mungkin mencari nafkah.
Hukuman FIFA hanya akan membuat timnas dan klub Indonesia tidak dapat
bermain dengan tim asing di mana pun.
Tetapi konon sanksi malah
akan menguntungkan KPSI karena mereka jadi punya kambing hitam. Di
sinilah suporter dan pemangku kepentingan sepak bola Indonesia harus
memainkan peran. Ayo tuntut pengelolaan sepak bola yang benar.
Mintalah
hiburan dan pertunjukan pertandingan bermartabat. Bukan yang asal tebas
kaki dan main pukul tanpa dihukum wasit. Mintalah klub untuk berbenah.
Bahkan bila perlu, ajukan mosi tak percaya dengan absen ke stadion
(meski ini sangat sulit diharapkan karena keterbatasan pengetahuan dan
wawasan).
Bila penonton, suporter atau mereka yang di luar
kepengurusan ikut membiarkan sepak bola Indonesia terus memburuk, maka
lebih baik sepak bola Indonesia dilipat.
Tutup saja sepak bola
prestasi Indonesia. Menyerahkan sepak bola Indonesia ke tangan mereka
yang tengah berkonflik saat ini sungguh hanya kesia-siaan.