Oleh: Margaretha
Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Apa yang menyebabkan sebagian individu bisa melakukan kekerasan,
penipuan, dan merugikan orang lain sedang yang lain tidak melakukan
kejahatan pada orang lain? Tulisan pendek ini akan mengulas definisi,
bentuk dan beberapa penjelasan Psikologi yang sering digunakan untuk
menjelaskan perilaku kejahatan
Definisi kejahatan
Ketika berbicara tentang kejahatan,
sebenarnya banyak hal yang dapat diulas. Paling tidak dimulai dengan
definisi kejahatan. Kejahatan sering diartikan sebagai perilaku
pelanggaran aturan hukum akibatnya seseorang dapat dijerat hukuman.
Kejahatan terjadi ketika seseorang melanggar hukum baik secara langsung
maupun tidak langsung, atau bentuk kelalaian yang dapat berakibat pada
hukuman. Dalam perspektif hukum ini, perilaku kejahatan terkesan aktif,
manusia berbuat kejahatan. Namun sebenarnya “tidak berperilaku” pun bisa
menjadi suatu bentuk kejahatan, contohnya: penelantaran anak atau tidak
melapor pada pihak berwenang ketika mengetahui terjadi tindakan
kekerasan pada anak di sekitar kita.
Adapula perspektif moral. Perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki 2 faktor: 1)
mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2)
actus reus
(perilaku terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya:
pembunuhan disebut kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat
menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan pelaksanaan perilaku
pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari orang lain. Jika
pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya
terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat
tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh,
atau tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai kejahatan, karena
orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas
perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).
Bentuk kejahatan
Selanjutnya, ketika membicarakan kejahatan kita juga perlu
mengidentifikasi pelaku dan korban. Pelaku adalah orang yang melakukan
tindakan melanggar hak dan kesejahteraan hidup seseorang, sedangkan
korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraan hidupnya. Pada
kasus pidana, identifikasi akan berkaitan dengan pembuatan tuntutan dan
pertanggungjwaban hukum. Walaupun begitu, terkadang tidak mudah
mengidentifikasi pelaku dan korban, terutama pada kasus dimana pelaku
adalah korbannya juga, contohnya: pelaku prostitusi sebenarnya juga
adalah korban dari perilakunya.
Kejahatan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa macam: kejahatan
personal (pelaku dan korban kejahatan adalah sama), interpersonal (ada
pelaku yang merugikan orang lain), dan kejahatan sosial masyarakat (efek
kejahatan pelaku merugikan kehidupan orang banyak di masyarakat). Dari
segi pelaksanaannya kejahatan juga bisa dibagi menjadi kejahatan
terorganisir (sering disebut kejahatan “kerah putih” yang memiliki
sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan) dan
tidak teroganisir (kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan
dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir).
Secara pidana, ada beberapa contoh perilaku kejahatan: pembunuhan,
tindak kekerasan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, perampasan,
penipuan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lagi
yang lain.
Teori kejahatan
Begitu banyaknya bentuk dan macam kejahatan, maka menarik untuk
mengetahui apa hal yang menyebabkan orang bisa melakukan tindak
kejahatan. Sebenarnya sejak dulu manusia berusaha menjelaskan mengapa
beberapa orang menjadi penjahat. Penjelasan paling awal adalah Model
Demonologi. Dulu dianggap bahwa perilaku kriminal adalah hasil dari
pengaruh roh jahat. Maka cara untuk menyembuhkan gangguan mental dan
perilaku jahat adalah mengusir roh kejahatan, biasanya dilakukan dengan
beberapa cara menyiksa, mengeluarkan bagian tubuh yang dianggap jahat
(misalkan darah, atau bagian organ tubuh lainnya).
Namun dalam kajian Psikologi Forensik, dikenal beberapa pendekatan
teoritis yang digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan:
Kriminologi awal (Cesare Lombroso), Psikoanalisa (Sigmund Freud), dan
Teori Bioekologi-Sosial.
Cesare Lombroso adalah seorang kriminolog Italia yang pada tahun 1876
menjelaskan teori ‘determinisme antropologi’ yang menyatakan
kriminalitas adalah ciri yang diwariskan atau dengan kata lain seseorang
dapat dilahirkan sebagai “kriminal”. Ciri kriminal dapat diidentifikasi
dengan ciri fisik seseorang, contohnya: rahang besar, dagu condong
maju, dahi sempit, tulang pipi tinggi, hidung pipih atau lebar terbalik,
dagu besar, sangat menonjol dalam penampilan, hidung bengkok atau bibir
tebal, mata licik, jenggot minim atau kebotakan dan ketidakpekaan
terhadap nyeri, serta memiliki lengan panjang. Ia menyimpulkan juga
kebanyakan kejahatan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan yang melakukan
kejahatan artinya terjadi degenarasi atau kemunduran. Ia berpandangan
harusnya sikap pasif, kurangnya inisiatif dan intelektualitas perempuan
membuatnya sulit melakukan kejahatan.
Sigmund Freud dalam perspektif Psikoanalisa memiliki pandangan
sendiri tentang apa yang menjadikan seorang kriminal. Ketidakseimbangan
hubungan antara Id, Ego dan Superego membuat manusia lemah dan akibatnya
lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan. Freud
menyatakan bahwa penyimpangan dihasilkan dari rasa bersalah yang
berlebihan sebagai akibat dari superego berlebihan. Orang dengan
superego yang berlebihan akan dapat merasa bersalah tanpa alasan dan
ingin dihukum; cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah
justru dengan melakukan kejahatan. Kejahatan dilakukan untuk meredakan
superego karena mereka secara tidak sadar sebenarnya menginginkan
hukuman untuk menghilangkan rasa bersalah.
Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip
“kesenangan”. Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan
bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan). Di dalamnya
termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup yang
dikelola oleh Id. Freud percaya bahwa jika ini tidak bisa diperoleh
secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka orang secara
naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal. Sebenarnya
pemahaman moral tentang benar dan salah yang telah ditanamkan sejak masa
kanak harusnya bisa bekerja sebagai superego yang mengimbangi dan
mengontrol Id. Namun jika pemahaman moral kurang dan superego tidak
berkembang dengan sempurna, akibatnya anak dapat tumbuh menjadi menjadi
individu yang kurang mampu mengontrol dorongan Id, serta mau melakukan
apa saja untuk meraih apa yang dibutuhkannya. Menurut pandangan ini,
kejahatan bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan
ego. Ego yang tidak mampu menjembatani kebutuhan superego dan id akan
lemah dan membuat manusia rentan melakukan penyimpangan.
Dari perspektif Belajar Sosial, Albert Bandura menjelaskan bahwa
perilaku kejahatan adalah hasil proses belajar psikologis, yang
mekanismenya diperoleh melalui pemaparan pada perilaku kejahatan yang
dilakukan oleh orang di sekitarnya, lalu terjadi pengulangan paparan
yang disertai dengan penguatan atau
reward; sehingga semakin
mendukung orang untuk mau meniru perilaku kejahatan yang mereka lihat.
Contohnya: jika anak mengamati orang tuanya mencuri dan memahami bahwa
mencuri uang menimbulkan
reward positif (punya uang banyak untuk
bersenang-senang); maka anak akan mau meniru perilaku mencuri. Di sisi
lain, perilaku yang tidak diikuti dengan
reward atau menghasilkan
reaksi negatif maka anak belajar untuk tidak melakukan; atau dengan
kata lain meniru untuk tidak mengulangi agar menghindari efek negatif.
Dalam perspektif ini, Bandura percaya bahwa manusia memiliki kapasitas
berpikir aktif yang mampu memutuskan apakah akan meniru atau tidak
mengadopsi perilaku yang mereka amati dari lingkungan sosial mereka.
Teori Sosial menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil
kerusakan sistem dan struktur sosial. Seorang penjahat dari keluarga
yang bercerai, mengalami masa kecil yang sulit, hidup di lingkungan
sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki
pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan berbagai
kesulitan psikososial lainnya. Dalam perspektif ini, kesannya individu
dilihat sebagai pasif bentukan sistem di sekelilingnya. Namun sebenarnya
pada pendekatan Bioekologis oleh Urie Brofenbenner, terdapat interaksi
faktor personal (si individu itu sendiri, termasuk di dalamnya aspek
kepribadian, trauma, aspek biologis) dengan faktor sistem sosial di
sekelilingnya. Artinya perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi
antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat
diidentifikasi. Contohnya: seseorang yang memiliki gangguan kepribadian,
pernah mengalami pola pengasuhan traumatis dan saat ini hidup di
lingkungan yang tidak peduli hukum dapat membuatnya lebih mudah
melakukan kejahatan.
Apakah semua kejahatan harus diperlakukan sama?
Kejahatan memiliki bentuk yang berbeda-beda. Bahkan perilaku
kejahatan yang sama dapat didasari oleh alasan yang berbeda. Misalkan
perlaku mencuri, seorang melakukannya untuk bertahan hidup, sedang yang
lain untuk mencari uang sebanyak mungkin agar bisa menghindari pekerjaan
sesedikit mungkin. Berbagai penjelasan teori kejahatan di atas dapat
digunakan untuk memahami kasus-kasus kejahatan. Mengapa dan bagaimana
perilaku kejahatan dapat muncul dalam suatu kasus kejahatan. Kepekaan
dan keahlian dalam memilah-milah perspektif teori dalam menjelaskan
kejahatan sangat dibutuhkan dalam mencari titik terang suatu kasus
kejahatan. Dengan pemahaman tersebut, harapannya, juga bisa dipahami
bagaimana masing-masing harus diperlakukan dan diberikan konsekuensi
hukum serta rehabilitasi psikologisnya. Proses koreksi dan rehabilitasi
perilaku kejahatan sebaiknya dilakukan berdasarkan penjelasan perilaku
kejahatan yang akurat dan tepat.
Referensi:
Davies, G., Hollin, C., & Bull, R. (2008). Forensic Psychology. John Wiley; Sussex