Rabu, 20 Maret 2013

Mengapa Orang Melakukan Kejahatan?

Oleh: Margaretha

Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

good-evil

Apa yang menyebabkan sebagian individu bisa melakukan kekerasan, penipuan, dan merugikan orang lain sedang yang lain tidak melakukan kejahatan pada orang lain? Tulisan pendek ini akan mengulas definisi, bentuk dan beberapa penjelasan Psikologi yang sering digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan

Definisi kejahatan

Ketika berbicara tentang kejahatan, sebenarnya banyak hal yang dapat diulas. Paling tidak dimulai dengan definisi kejahatan. Kejahatan sering diartikan sebagai perilaku pelanggaran aturan hukum akibatnya seseorang dapat dijerat hukuman. Kejahatan terjadi ketika seseorang melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak langsung, atau bentuk kelalaian yang dapat berakibat pada hukuman. Dalam perspektif hukum ini, perilaku kejahatan terkesan aktif, manusia berbuat kejahatan. Namun sebenarnya “tidak berperilaku” pun bisa menjadi suatu bentuk kejahatan, contohnya: penelantaran anak atau tidak melapor pada pihak berwenang ketika mengetahui terjadi tindakan kekerasan pada anak di sekitar kita.
Adapula perspektif moral. Perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki 2 faktor: 1) mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2) actus reus (perilaku terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari orang lain. Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).

Bentuk kejahatan

Selanjutnya, ketika membicarakan kejahatan kita juga perlu mengidentifikasi pelaku dan korban. Pelaku adalah orang yang melakukan tindakan melanggar hak dan kesejahteraan hidup seseorang, sedangkan korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraan hidupnya. Pada kasus pidana, identifikasi akan berkaitan dengan pembuatan tuntutan dan pertanggungjwaban hukum. Walaupun begitu, terkadang tidak mudah mengidentifikasi pelaku dan korban, terutama pada kasus dimana pelaku adalah korbannya juga, contohnya: pelaku prostitusi sebenarnya juga adalah korban dari perilakunya.
Kejahatan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa macam: kejahatan personal (pelaku dan korban kejahatan adalah sama), interpersonal (ada pelaku yang merugikan orang lain), dan kejahatan sosial masyarakat (efek kejahatan pelaku merugikan kehidupan orang banyak di masyarakat). Dari segi pelaksanaannya kejahatan juga bisa dibagi menjadi kejahatan terorganisir (sering disebut kejahatan “kerah putih” yang memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan) dan tidak teroganisir (kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir). Secara pidana, ada beberapa contoh perilaku kejahatan: pembunuhan, tindak kekerasan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, perampasan, penipuan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lagi yang lain.

Teori kejahatan

Begitu banyaknya bentuk dan macam kejahatan, maka menarik untuk mengetahui apa hal yang menyebabkan orang bisa melakukan tindak kejahatan. Sebenarnya sejak dulu manusia berusaha menjelaskan mengapa beberapa orang menjadi penjahat. Penjelasan paling awal adalah Model Demonologi. Dulu dianggap bahwa perilaku kriminal adalah hasil dari pengaruh roh jahat. Maka cara untuk menyembuhkan gangguan mental dan perilaku jahat adalah mengusir roh kejahatan, biasanya dilakukan dengan beberapa cara menyiksa, mengeluarkan bagian tubuh yang dianggap jahat (misalkan darah, atau bagian organ tubuh lainnya).
Namun dalam kajian Psikologi Forensik, dikenal beberapa pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan: Kriminologi awal (Cesare Lombroso), Psikoanalisa (Sigmund Freud), dan Teori Bioekologi-Sosial.
Cesare Lombroso adalah seorang kriminolog Italia yang pada tahun 1876 menjelaskan teori ‘determinisme antropologi’ yang menyatakan kriminalitas adalah ciri yang diwariskan atau dengan kata lain seseorang dapat dilahirkan sebagai “kriminal”. Ciri kriminal dapat diidentifikasi dengan ciri fisik seseorang, contohnya: rahang besar, dagu condong maju, dahi sempit, tulang pipi tinggi, hidung pipih atau lebar terbalik, dagu besar, sangat menonjol dalam penampilan, hidung bengkok atau bibir tebal, mata licik, jenggot minim atau kebotakan dan ketidakpekaan terhadap nyeri, serta memiliki lengan panjang. Ia menyimpulkan juga kebanyakan kejahatan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan yang melakukan kejahatan artinya terjadi degenarasi atau kemunduran. Ia berpandangan harusnya sikap pasif, kurangnya inisiatif dan intelektualitas perempuan membuatnya sulit melakukan kejahatan.
Sigmund Freud dalam perspektif Psikoanalisa memiliki pandangan sendiri tentang apa yang menjadikan seorang kriminal. Ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan. Freud menyatakan bahwa penyimpangan dihasilkan dari rasa bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari superego berlebihan. Orang dengan superego yang berlebihan akan dapat merasa bersalah tanpa alasan dan ingin dihukum; cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah justru dengan melakukan kejahatan. Kejahatan dilakukan untuk meredakan superego karena mereka secara tidak sadar sebenarnya menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalah.
Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip “kesenangan”. Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan). Di dalamnya termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Freud percaya bahwa jika ini tidak bisa diperoleh secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka orang secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal. Sebenarnya pemahaman moral tentang benar dan salah yang telah ditanamkan sejak masa kanak harusnya bisa bekerja sebagai superego yang mengimbangi dan mengontrol Id. Namun jika pemahaman moral kurang dan superego tidak berkembang dengan sempurna, akibatnya anak dapat tumbuh menjadi menjadi individu yang kurang mampu mengontrol dorongan Id, serta mau melakukan apa saja untuk meraih apa yang dibutuhkannya. Menurut pandangan ini, kejahatan bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan ego. Ego yang tidak mampu menjembatani kebutuhan superego dan id akan lemah dan membuat manusia rentan melakukan penyimpangan.
Dari perspektif Belajar Sosial, Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil proses belajar psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan pada perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang di sekitarnya, lalu terjadi pengulangan paparan yang disertai dengan penguatan atau reward; sehingga semakin mendukung orang untuk mau meniru perilaku kejahatan yang mereka lihat. Contohnya: jika anak mengamati orang tuanya mencuri dan memahami bahwa mencuri uang menimbulkan reward positif (punya uang banyak untuk bersenang-senang); maka anak akan mau meniru perilaku mencuri. Di sisi lain, perilaku yang tidak diikuti dengan reward atau menghasilkan reaksi negatif maka anak belajar untuk tidak melakukan; atau dengan kata lain meniru untuk tidak mengulangi agar menghindari efek negatif. Dalam perspektif ini, Bandura percaya bahwa manusia memiliki kapasitas berpikir aktif yang mampu memutuskan apakah akan meniru atau tidak mengadopsi perilaku yang mereka amati dari lingkungan sosial mereka.
Teori Sosial menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil kerusakan sistem dan struktur sosial. Seorang penjahat dari keluarga yang bercerai, mengalami masa kecil yang sulit, hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan berbagai kesulitan psikososial lainnya. Dalam perspektif ini, kesannya individu dilihat sebagai pasif bentukan sistem di sekelilingnya. Namun sebenarnya pada pendekatan Bioekologis oleh Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal (si individu itu sendiri, termasuk di dalamnya aspek kepribadian, trauma, aspek biologis) dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya. Artinya perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Contohnya: seseorang yang memiliki gangguan kepribadian, pernah mengalami pola pengasuhan traumatis dan saat ini hidup di lingkungan yang tidak peduli hukum dapat membuatnya lebih mudah melakukan kejahatan.

Apakah semua kejahatan harus diperlakukan sama?

Kejahatan memiliki bentuk yang berbeda-beda. Bahkan perilaku kejahatan yang sama dapat didasari oleh alasan yang berbeda. Misalkan perlaku mencuri, seorang melakukannya untuk bertahan hidup, sedang yang lain untuk mencari uang sebanyak mungkin agar bisa menghindari pekerjaan sesedikit mungkin. Berbagai penjelasan teori kejahatan di atas dapat digunakan untuk memahami kasus-kasus kejahatan. Mengapa dan bagaimana perilaku kejahatan dapat muncul dalam suatu kasus kejahatan. Kepekaan dan keahlian dalam memilah-milah perspektif teori dalam menjelaskan kejahatan sangat dibutuhkan dalam mencari titik terang suatu kasus kejahatan. Dengan pemahaman tersebut, harapannya, juga bisa dipahami bagaimana masing-masing harus diperlakukan dan diberikan konsekuensi hukum serta rehabilitasi psikologisnya. Proses koreksi dan rehabilitasi perilaku kejahatan sebaiknya dilakukan berdasarkan penjelasan perilaku kejahatan yang akurat dan tepat.

Referensi:

Davies, G., Hollin, C., & Bull, R. (2008). Forensic Psychology. John Wiley; Sussex

Apa itu Prokrastinasi?

Lakukan Sekarang dan Saat Ini Juga

Apakah anda sering merasakan tekanan saat deadline tugas anda mendekat? Pernahkah anda merasa bahwa tugas yang anda miliki terlalu banyak dan menumpuk begitu tingginya? Atau apakah anda sering diperingatkan oleh atasan anda untuk segera menyelesaikan tugas tersebut? Jika anda mengalami hal-hal diatas, mungkin anda merupakan orang yang sering melakukan prokrastinasi. Banyak dari kita pernah melakukan prokastinasi dalam kesehariannya. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah, namun beberapa orang merasa sangat sulit melepaskan dirinya dari prokrastinasi ini.


Apa itu prokrastinasi?

Secara umum, prokrastinasi dapat berarti menunda untuk memulai atau menyelesaikan sesuatu yang secara sadar telah kita setujui untuk kita kerjakan. Prokrastinasi berbeda dengan melakukan pekerjaan lain dikarenakan prioritas pekerjaan lain tersebut lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang sedang dilakukan.
Menunda melakukan pekerjaan dapat mengurangi kecemasan terhadap pekerjaan tersebut, kebosanan, atau perasaan tidak nyaman berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Penundaan ini dapat memberikan efek tenang sejenak yang membuat kita merasa nyaman. Oleh karenanya, tidaklah heran mengapa banyak orang yang sering melakukan prokrastinasi atau bahkan tidak dapat lepas dari kebiasaan buruk ini. Meskipun dapat memberikan rasa nyaman, pada akhirnya prokrastinasi hanya akan menimbulkan kerugian jangka panjang serta dapat menyebabkan penurunan produktivitas, menyebabkan stres, dan dapat pula menyebabkan rasa bersalah bagi orang yang melakukannya.
Prokrastinator biasanya sangat ahli dalam membuat alasan untuk menunda pekerjaan yang harus dilakukannya. Mereka sering berdalih bahwa mereka tidak mempunyai waktu untuk melakukan pekerjaan tersebut, pekerjaan tersebut kurang penting, atau mereka akan melakukannya saat suasana hati mereka sedang baik.

Mengapa kita melakukannya?

Prokrastinasi merupakan celah yang berada di antara tujuan dan tindakan kita. Kita memiliki tujuan untuk bertindak, namun saat waktunya tiba kita tersesat dalam pertimbangan kita dan membuat alasan-alasan untuk membenarkan penundaan yang sebenarnya tidak perlu.
Ada tiga alasan dasar mengapa kita melakukan prokrastinasi. Pertama, kita sering menunda pekerjaan yang tidak kita sukai. Pekerjaan yang tidak kita sukai atau menantang membuat kita merasa tidak nyaman. Kita sering menganggap bahwa tugas tersebut sangat berat dan sulit untuk dilakukan. Seringkali hal ini memunculkan emosi negatif pada diri kita. Tentunya, hal ini tidak kita inginkan dan yang kita inginkan adalah membuat diri kita merasa baik saat ini juga. Oleh karenanya kita berusaha membuat diri kita merasa lebih baik dengan menunda pekerjaan tersebut. Meskipun, pada akhirnya penundaan tersebut akan membawa lebih banyak kerugian pada diri kita nantinya.
Kedua, kita memiliki niat yang lemah untuk melakukan suatu pekerjaan. Kita tidak benar-benar bersungguh-sungguh mengerjakan tugas tersebut, sehingga kita sering berkata pada diri kita sendiri seperti “aku akan menyelesaikannya bulan ini” atau “aku akan mengerjakannya nanti”.
Ketiga, kita mudah sekali untuk terdistraksi. Banyak sekali hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian kita dari pekerjaan yang harus kita kerjakan. Hal-hal penyebab distraksi tersebut dapat berupa notifikasi pada sosial media, pesan singkat dari teman kita, atau video menarik pada jejaring sosial.

Bagaimana cara mengatasinya?

Salah satu cara yang sederhana dan efektif untuk mengatasi prokrastinasi adalah dengan segera memulainya. Bila anda mendapati diri anda berpikir “saya sedang tidak berada pada suasana hati yang bagus untuk mengerjakannya” atau “saya bekerja lebih baik dibawah tekanan”, maka sadarilah bahwa saat itu anda sedang akan melakukan prokrastinasi. Dengan menyadari perasaan dan pikiran tersebut, anda akan lebih mudah menangani godaan untuk menunda pekerjaan anda.
Cara lainnya adalah dengan melakukan pekerjaan kita secara perlahan. Kita tidak perlu melakukan kemajuan besar dalam melakukan pekerjaan, cukup dengan langkah-langkah kecil menuju tujuan kita. Dengan melakukan langkah-langkah kecil ini, pekerjaan kita akan terlihat lebih mudah dan kita lebih termotivasi untuk menyelesaikannya.
Kita juga dapat mengatasi prokrastinasi dengan mengurangi distraksi di sekitar kita. Kita dapat menghilangkan distraksi tersebut seperti membuat aturan bagi diri kita sendiri untuk tidak menyalakan ponsel ketika sedang melakukan pekerjaan. Kita juga dapat menggunakan distraksi tersebut sebagai hadiah bagi kita jika kita telah menyelesaikan pekerjaan kita. Misalnya kita dapat menggunakan ponsel setelah satu jam bekerja atau bermain game setelah menulis satu halaman artikel, dsb.

Editor/Penulis:
Brian P.A. (Unit Fac. Ambassador)

Sumber:
http://www.psychologytoday.com/