Kamis, 04 Juli 2013

Baterai Kering Ramah Lingkungan

Bisa Diisi Ulang, Baterai Kering Ramah Lingkungan Dari Biji Nyamplung

Tiga mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM-Unair) berhasil membuat baterai kering (dry cell) ramah lingkungan. Mereka adalah M. Ridwan Arifin (2008), Atina Husnayatin (2011) dan Muthmainnah Windawati (2001). Ketiganya mengaku menciptakan baterai ramah lingkungan dari biji tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dilatarbelakangi oleh banyaknya pemakaian baterai AA sekali pakai di pasaran yang tidak ramah lingkungan. “Baterai sekali pakai berbahaya bagi lingkungan, setelah habis lalu dibuang, padahal di dalamnya terdapat senyawa berbahaya yang tidak gampang terurai misalnya katnium, timbal dan sebagainya,” ungkap Ridwan. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahaya baterai kering bila asal dibuang dan terkena air atau panas dapat meledak.

Konsumsi baterai kering sekali pakai tiap tahunnya bisa mencapai 500 juta buah, oleh karena itu Ridwan dan teman-temannya memperoleh ide untuk menciptakan baterai yang bisa diisi ulang untuk menekan limbah baterai. “Kita lalu mencari bahan yang bisa mengganti serbuk karbon pada baterai sekali pakai. Akhirnya kita dapat biji nyamplung,” kata Ridwan. Dari hasil penelitian sebelumnya, ia menuturkan bahwa nyamplung sudah dipakai sebagai bahan baku untuk bensin. “Kita lalu mengkaji ulang senyawa asam apa yang cocok. Ternyata, kandungan asam kalofilat dan asam takawahol pada biji nyamplung berpotensi untuk menjadi pengganti pasta karbon baterai,” jelasnya.

Setelah melakukan pengujian, didapatkan bahwa kuat arus baterai nyamplung hampir mendekati baterai komersial. “Baterai nyamplung voltasenya 1,45 volt. Hanya terpaut 0,05 volt. dari baterai ABC,” ungkap Ridwan. Selain itu, kuat arus baterai nyamplung  juga terpaut sedikit dengan baterai biasa yaitu 0,055 A dengan 0,06 A. Ridwan menuturkan pembuatan baterai nyamplung berasal dari biji yang ditumbuk halus setelah melalui proses pengeringan. “Jika dijemur dibawah sinar matahari langsung memakan waktu 3 hari, tapi bisa lebih cepat bila memakai oven,” tuturnya.

Baterai nyamplung bermerk ”Brain” itu dinilai Ridwan banya memiliki keunggulan. “Pertama harganya jauh lebih murah, harga satu baterai hanya 30 rupiah. Selain itu, baterai tersebut juga bisa diisi ulang, sehingga kalau habis tidak langsung dibuang,” katanya. Menurutnya, baterai itu akan menjadi solusi bagi daerah terpencil yang sulit untuk mengakases listrik bila jadi diproduksi masal. “Untuk isi ulangnya, kita hanya butuh serbuk baru lalu dimasukkan ke baterai dan ditutup kembali,” katanya.

Sudah Dilirik Perusahaan

Dari hasil penelitan itu, Ridwan dan teman-temannya mengaku sudah dilirik oleh perusahaan. “Kita baru saja memulai penjajakan kerja sama dengan PT. Infoma, salah satu perusahaan hardware telekomunikasi di bidang renewable energy. Semoga langkah berikutnya bisa diproduksi masal,” ungkap Ridwan yang saat ini dengan teman se-tim nya sedang mengurus paten produk mereka.

Ridwan menjelaskan penelitian mereka masih akan berlanjut. “Tahap berikutnya adalah untuk membuat baterai ini tahan lama. Karena di penelitian awal ketahanan baterai yang kami ujikan pada jam beker hanya 17 hari saja,” ucapnya. Ridwan mengaku akan mencari tambahan bahan untuk dicampurkan pada serbuk biji nyamplung agar lebih tahan lama. “Selama ini kami masi murni tanpa tambahan bahan apapun,” ucapnya.

Penelitian itu mereka tuangkan dalam Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) Meski tahun ini PKM mereka tidak lolos PIMNAS, mereka telah menorehkan prestasi di bidang penalaran mahasiswa. Tercatat, mereka pernah meraih juara III Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIM) internal Unair, Finalis LKTI Universitas Al-Azhar dan finalis di ajang Mipa Untuk Negeri (MUN).

Referensi : http://radiounair.com/